Minggu, 15 Juni 2008

AGENDA TEMU AKTIVIS




Minggu Depan, 4000 Aktivis Kumpul di Tugu Proklamasi

Minggu, 15 Juni 2008 | 13:42 WIB

JAKARTA, MINGGU - Aktivis seluruh Indonesia mengubah strategi dalam berperang melawan pemerintah yang dianggap telah mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Mereka tidak akan berperang secara sporadis lagi, tapi mereka akan bersatu untuk memerangi kebijakan pemerintah yang tak berpihak kepada rakyat miskin.

Hal ini terealisasikan dalam acara temu aktivis lintas generasi (Tali Generasi) di Tugu Proklamasi Jakarta, pada 23-25 Juni 2008. Dalam kesempatan itu, sekitar 4000 aktivis akan berdiskusi untuk mengambil sikap atas kebijakan pemerintah, khususnya dalam menaikkan harga bahan bakar minyak.

"Tidak hanya itu, mereka juga akan mengajak basis massa dari seluruh Indonesia, antara lain Jakarta, Bogor, Cirebon, Cianjur, Bandung, Jogja, Surabaya, Malang, Jambi, dan Makasar. Kami, dalam kesempatan itu, juga akan mengundang seluruh universitas di Jakarta, yang berjumlah 126 kampus, anggota DPR, siswa SMU, buruh, dan petani," ujar aktivis 98 Adian Napitupulu, dalam keterangan pers di Jakarta, Minggu (15/6).

Menurut dia, forum ini akan mengusung tiga agenda, yaitu kenaikan harga BBM, perebutan aset migas, dan penggulingan SBY-JK. Dia yakin, forum ini akan membawa perubahan di Indonesia. "Kalau enggak yakin, kita tidak akan membuat pertemuan ini," tambah Adian.

Rangkaian acara pada 23 Juni akan diawali dengan diskusi terbuka dengan pembicara antara lain Eros Djarot, Bondan Gunawan, Ratna Sarumpaet, Fadjroel Rachman, dan Kwik Kian Gie. Sore harinya, diskusi dilanjutkan dengan orasi-orasi politik dari berbagai tokoh gerakan berbagai generasi.

Pada 24 Juni, mereka akan mengambil langkah yang akan ditempuh untuk menghadapi peristiwa yang belakangan ini terjadi di Indonesia. "Apakah pertemuan memutuskan untuk kembali menduduki DPR seperti 1998, atau justru akan mengepung Istana selama berhari-hari atau apapun keputusannya, maka ribuan kepala aktivis itu yang akan putuskan, tentunya dengan kontrak nurani, tak pulang sebelum terjadinya perubahan!" jelasnya.

Kamis, 12 Juni 2008

Selasa, 03 Juni 2008

IMAGINER, ...




"............imaginer saya dengan bung karno... konon cerita.. Pagi pagi sekali aku terbangun , menuju ruang makan, duduk dan sembari menuang air putih kedalam gelas aku melihat kearah dinding didepanku , hari ini tanggal 6 juni ..aku teringat Kalau ngga salah , hari ini ulang tahun bung....,, lantas aku langsung saja ingin berkabar dengan bung, dengan percaya diri aku bergegas menelpon bung, Selamat pagi bung, apa kabar ? selamat ulang tahun, ngga penting ulang tahun yang keberapa, pokoknya senang sekali bisa bertutur sapa dengan bung ................. Sulit rasanya melupakan nama bung....banyak yang serupa tapi tidak mirip bung *Ahh, kamu paling bisa, patah tumbuh hilang berganti........ - benar bung, untuk apa pura pura .... ... bung pernah bilang katanya kemerdekaan itu jembatan emas, buktinya mana ? padahal mas dan uranium kita sudah diangkut ke negeri paman sam oleh freport dan kita acuh tak acuh, masih banyak lainnya yang sudah dikuasai pihak asing, ... * lho bukannya hidup itu perjuangan ? jangan Cuma bisa mengeluh saja, berjuang..! - benar bung, kalau dulu bung berjuang melawan penjajah berkulit putih kaum imperialis dan kolonialis, kini kami berjuang melawan paham, mereka ada di wall street dan bank dunia, tapi pahamnya bertebaran disini, ada neo liberal, neo kolonial dan neo imperialisme, dan teman teman kita justru menjadi agen mereka, agennya kapitalis * jangan su’udzoon, itu dilarang oleh agama, menurut kitab suci belajarlah sampai kenegeri cina, indonesia bangsa yang besar, jangan mudah menyerah... - maunya sih begitu bung, jangankan ke negeri cina, untuk menjadi mahasiswa perguruan tinggi di Indonesia saja selain sulit diterima di universitas negeri, daftar ke universitas swasta mahalnya bukan kepalang, ingin jadi pegawai negeri harus ada uang pelicin, bila ingin jadi petani , pupuknya selain mahal, kalau sedang musim tanam sering menghilang dipasaran, ingin jadi nelayan, harga solar semakin tidak terjangkau, oh ya semula saya ingin seperti bung, ganteng, cerdas, berpendidikan, progresif dan militan, tapi bung ... * lho mana bisa ada kata tapi ..., kalau pakai kata tapi , kita pasti tidak jadi merdeka,....., pejuang pejuang dulu hanya bermodalkan semangat, kita bisa merebut irian barat, sekarang tehnologi semakin canggih, memudahkan kalian bekerja membangun negeri.., ayo maju tak gentar, bergotong royong ... - bung enak aja bicara, gotong royong itu kuno, biar makin canggih sekarang ini ngga ada yang gratis, harga sembako semakin tak terjangkau, akibat kenaikan harga BBM , apa benar bung persediaan minyak kita semakin menipis, sehingga kenaikan BBM ini seperti kutukan, kenapa harus kenaikan BBM sebagai solusi, bukannya kita punya minyak yang digali dari bumi milik kita sendiri, kok harganya tergantung harga internasional, kok mau kita diatur bangsa lain, selain itu kita punya batubara, panas bumi, air, angin, samudra, gunung dan sawah ladang dan katanya gemah ripah loh jinawi, mana buktinya bung, kebijakan kenaikan BBM itu memaksa kita semakin melarat, kalau ngga kuat iman, bisa bisa ikut ikutan bunuh diri , hampir setiap hari di televisi ada tayangan demikian, maaf ya bung saya kira antri beras itu hanya ada dijaman orde lama, eh ternyata sekarang ini setelah 100 tahun hari kebangkitan nasional dan 63 tahun hari kemerdekaan kita, persoalan antri dinegara kita itu pemandangan yang semakin terbiasa, ada yang antri beras raskin, antri minyak tanah, antri gas, antri minyak goreng, dan yang terbaru adalah antri BLT, Itu bung, bantuan langsung tunai sebesar 100 ribu, pemerintah kita baik ya bung, bagi bagi uang 100 rb persis sinterklas, jaman bung dulu mana ada bagi bagi rejeki seperti itu..ha ha ha.. * wah kamu salah lagi, persoalan mensejahterakan rakyat, itu sudah dirumuskan kami di dalam UUD 45, pemerintah berkewajiban memberi bantuan sosial bagi orang miskin, memberi pekerjaan, mencerdaskan bangsa dan melindungi seluruh rakyat, ada atau tidak ada kenaikan BBM, tidak ada pengaruhnya, itu merupakan kewajiban Pemerintah makanya diterjemahkan dalam Anggaran Belanja kita dengan benar, Pemerintah bukan sinterklas, mereka mengelola uang rakyat, dan harus dipertanggung jawabkan... - setuju bung, konstitusi kita sudah mengatur secara tegas hak dan kewajiban pemerintah dan juga hak dan kewajiban rakyat, saya sangat bingung dengan hak rakyat itu apa, apakah berguna atau tidak bagi negara, dulu ketika hak itu diwakilkan kepada MPR, rakyat menuntut hak itu dilakukan sendiri secara langsung memilih pemimpinnya, dan kini setelah memilih sendiri pemimpinnya kok begini ya, semula saya berpikir memilih pemimpin yang bergelar doktor pertanian itu pasti hebat seperti bung, eh ngga tahunya cape deh ...... dan menurut teman teman lebih baik pemilu nanti golput saja, setuju aja deh, daripada salah lagi pilih pemimpin.. * nah kamu ini ngawur lagi, katanya demokrasi, katanya reformis, demokrasi itu dari rakyat untuk rakyat memang menggunakan hak itu ngga bisa dipaksa, tapi sebagai warga negara yang baik harus bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa, kamu lahir, dan bernafas di negara yang bernama Indonesia, coba bayangkan kalau hak itu kembali diambil oleh MPR , boleh apa nggak ? - ya terserah aja bung, pemimpin kita sekarang kebanyakan tutur katanya tak seturut dengan perbuatan, seringkali berdusta dan ingkar janji, pokoknya aku mau bung pulang memimpin bangsa ini lagi, biar ada harga diri dan disegani bangsa bangsa lain, olah raga kita melempem, perdagangan kita ngga becus, bayangkan saja semuanya import, dari garam, bawang merah, gula, kedelai, telur, sayur mayur, buah buahan, dan masih banyak lagi, saya sangat khawatir jangan jangan kita juga import harga diri bung...! menyedihkan sekali, saya sudah tidak tahu harus memulai dari mana, boro boro ganyang malaysia, bangsa kita saja mau jadi tentara malaysia demi sesuap nasi, lucunya lagi pemerintah sangat bangga pada tenaga kerja atau para pembantu rumah tangga yang dikirim ke negara tetangga katanya sebagai sumber devisa negara, saya kira pemikiran itu sangat kacau bung, untuk bisa mengatakan bangga saja parameternya ngawur, .. , coba aja bung lihat, saat rakyat kelaparan, para pemimpin itu malah beriklan ria di televisi ( pastinya menelan biaya mahal) meski yang diungkapkan ngga bermutu, bayangkan saja seorang mentri perdagangan bertutur tentang keinginannya bisa menurunkan harga, tapi apa daya... .(dengan bahasa tubuh),saya kira sebagai pembuat kebijakan yang memiliki otoritas penggerak ekonomi, kok rasanya ngga bijak gitu ya, artinya dengan tayangan itu rakyat semakin hilang harapan, kok bisa ? harusnya konsekwen dong kalau ngga sanggup ya mundur aja, udah ya bung pulsa saya sudah mau habis nih, tapi bung janji ya , Pidato lagi di PBB ya, lawan imperialis, lawan kolonialis, lawan komprador bangsa ... ! kembalikan harga diri bangsa ini, oh ya jangan lupa bung harus kembali, menjadi nakhoda kapal yang hampir kandas ini, kata bung revolusi belum selesai, semangat, semangat...! Dan tiba tiba saya terbangun, agaknya angin semilir yang masuk di jendela tadi membawaku terlelap sejenak dimeja makan itu, mataku menatap foto Bung Karno yang gagah itu, untung mimpiku bertemu dengan bung, ... asyik, merdeka, merdeka, merdeka !!!

solidaritas SDI dengan perempuan miskin dalam HUT ke 2.

Bila ratusan bahkan ribuan perempuan berbaris panjang, antri dengan sabar yang dipaksakan, demi sekantong plastik berisi beras, mie instan, gula, dan singkong………., artinya kemiskinan sudah terlalu akut! Artinya, mereka tak lagi sanggup membeli beras yang kian hari kian mahal. Tak terbeli, dengan sepuluh ribu rupiah atau duapuluh ribu rupiah yang didapat dari kerja keras seharian setelah badan terlalu letih mendorong gerobak, mengobrak-abrik tong-tong sampah dengan harap menemukan barang yang layak dijual. Para ibu ini juga harus dipusingkan dengan perut lapar anak-anak (dan juga suami) mereka. Setiap saat, para ibu was-was, takut ada anggota keluarga jatuh sakit. Karena di negeri ini, sakit bagi orang miskin berarti semakin tercampaknya harga diri sebagai manusia. Obat tak terbeli, dokter yang pilih kasih, suster yang tak berwajah ramah.

Di tengah kemiskinan, para ibu tetap berharap anak-anak yang dilahirkan juga dapat menikmati sekolah, seperti janji para politisi yang kerap ditonton di layar TV dibilik kusam rumah yang seringkali tak layak disebut rumah. Pendidikan adalah hak setiap anak. Pemerintah akan menyediakan sekolah berkualitas dengan buku-buku gratis, demikian janji manis pemerintah. Nyatanya, anak-anak kurus usia sekolah, bermandi keringat mengejar bis kota untuk menjual suara tak merdu mereka, berharap penumpang berbelas kasih. Bertaruh nyawa di lampu-lampu merah, mengetok jendela mobil, menanti serupiah, dua rupiah……..! Semua dilakukan demi perut dan kehidupan!

Seratus Tujuh Juta Tujuh Puluh Delapan Ribu penduduk hidup dalam kemiskinan. Seharusnya Presiden SBY, mengingat semua janji pemilu yang diucapkan dihadapkan ratusan juta rakyat. Seharusnya Pak Presiden tak hanya menebar pesona, karena perut lapar tak bisa disogok dengan senyum dan janji, karena sekolah dan rumah tak bisa dibayar dengan pesona (apalagi pesona palsu dan menipu!). Nyatanya, bencana alam silih berganti dalam hitungan menit selama tiga tahun terakhir. Nyatanya, setiap menit ibu melahirkan meninggal karena kekurangan gizi ( 20 ribu ibu meninggal setiap tahun ). Jutaan bayi menderita gizi buruk (Thn 2005, 5 juta anak). Perempuan dan anak diperdagangkan, yang menghantarkan ratusan ribu perempuan setiap bulan, setiap minggu, setiap hari dan setiap menit menjual tubuh dan tenaganya (selama bulan April 2006, terdapat 1.022 kasus, 100 ribu anak menjadi pelacur).

Saatnya perempuan melakukan protes dan menggugat Pemerintah SBY-Kalla agar bertanggung jawab terhadap pemiskinan perempuan. Beras murah, BBM murah, sekolah gratis, kesehatan gratis, rumah layak dan aman dari bencana adalah hak dari seluruh rakyat.

Perempuan Butuh Pemimpin yang Peduli dan Berpihak pada Rakyat Miskin!

MULTIKULTURALISME



pandangan tokoh muslim Zakiyuddin baidhawy

Satu pelajaran berharga dari evolusi kebudayaan
adalah bahwa realitas multikultural secara
langsung dipengaruhi oleh pola pikir manusia sendiri.
dalam konteks ini,
spirit sawa' memperoleh momentumnya kembali
untuk lahir dengan wajah baru. Tentu saja
melalui pembacaan ulang
dan memperdengarkan kembali secara produktif
untuk menghadirkan kedalaman makna
yang menggairahkan dan mencerahkan kehidupan bersama.

Rentang historis peradaban dunia membawa Islam terus berupaya mencari jalan untuk mengembangkan teknologi yang efektif bagi kehidupan majemuk. Berbagai tradisi filsafat, spiritualitas dan fiqhiyah telah memberi kontribusi penting untuk kemajuan dan pencarian bersama ini. Namun, evolusi kebudayaan sering menjelaskan bahwa gerakan yang diniatkan tidak selalu sesuai dengan cita-cita sosial umat Islam.

Pada faktanya relasi antar agama, antar etnik dan antar budaya – bahkan antar sesama Muslim itu sendiri -- terus mengalami kehancuran ketika perbedaan perspektif, pandangan dan ideologi saling konfrontasi dan berebut kepentingan. Kunci utama agar tetap bertahan tergantung pada cara kita belajar mengelola keragaman dan konflik. Nyata bahwa prioritas untuk menghadapi pluralitas dan multikulturalitas bangsa yang semakin canggih dan percepatannya melalui globalisasi, hanya memperoleh solusi praktis secara kreatif ketika berbagai pandangan dunia Islam dan non-Islam dapat saling berjumpa.

Islam perlu memanfaatkan momentum kebangkitan agama-agama di dunia yang terjadi sejak dekade 70-an, yang berbeda bentuk dan substansinya dari perkembangan pada pertengahan pertama abad 20. Dari segi bentuknya, agama-agama semakin menunjukkan kecenderungan semakin luwes dan umum (general) sebagai lawan dari agama-agama konfesional yang partikular. Dari segi substansinya, agama-agama mulai mengupayakan realisasi komunitas global universal dengan visi dan nasib bersama.

Dalam konteks ini, Islam seyogyanya muncul sebagai agama universal, agama general yang visible dalam penyebaran wacana dan gerakan perdamaian dan peduli terhadap lingkungan hidup. Kesempatan ini pula yang tidak boleh diabaikan Islam untuk menjadi pemain utama arus perubahan dunia menuju kedamaian sejati. Kita berharap, abad 21 akan menyaksikan sebuah kebangkitan religius-spiritual global baik dalam wilayah publik dan privat, meskipun peran marginal dari institusi-institusi keagamaan tradisional masih dapat dilihat dalam kehidupan ini. Di sinilah pentingnya setiap agama mengembangkan dan menguji kembali tradisi masing-masing dalam rangka merespon tantangan ini, tak terkecuali Islam sebagai agama mayoritas.

Belajar dari kegagalan politik penguasa dalam mengelola masyarakat multikultural, paradigma etis Islam multikultural sudah saatnya menjadi sumber kehidupan berbangsa dan bernegara. Islam multikultural adalah sebentuk perspektif teologis tentang penghargaan terhadap keragaman dan "sang lian" (the other). Suatu assessment teologis mengenai agama lain, kultur lain, dan etnik lain, dan penempatannya secara layak dalam wilayah tatanan publik etis. Ia merupakan teologi qur'ani yang membolehkan "sang lian" menjadi "yang lain" sebagai realitas yang secara etis diperkenankan atau bahkan keniscayaan. Inilah perspektif teologis abad 21 yang berkomunikasi melampaui bahasa dan tradisi partikular. Meminjam istilah Abdulaziz Sachedina, ini merupakan "sensibilitas ekumene" dari teologi multikulturalis yang menggambarkan perhatian dan kepedulian terhadap penduduk dunia, mempengaruhi kehidupan mereka melampaui batas-batas komunitas-komunitas keagamaan dan kultural. Tujuan luhur teologi multikulturalis (summum bonum) adalah pembebasan dari belenggu kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kezaliman, dan ketidakadilan sebagai akibat dari relasi kolonial atas-bawah, dominasi-subordinasi, superior-inferior, menindas-tertindas baik dalam hubungan antaragama, etnik dan budaya.

Sulam Ragam Rajut Harmoni

Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia menuju cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan dan agama. Ini berarti bahwa dominasi ras dan diskriminasi atas nama apapun merupakan kekuatan antitesis terhadap tauhid, dan karenanya harus dikecam sebagai kemusyrikan dan sekaligus kejahatan atas kemanusiaan. Pesan disinyalir al-Qur'an 3:64: "Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)! Mantapkanlah manifesto kesetaraan dan keadilan (melalui dialog) antara kami dan kamu".

Dialog bukan semata percakapan bahkan pertemuan dua pikiran dan hati mengenai persoalan bersama, dengan komitmen untuk saling belajar dapat berubah dan berkembang. "Berubah" artinya dialog terbuka, jujur dan simpatik dapat membawa pada kesepahaman melalui mana prasangka, stereotip, dan celaan dapat dikurangi dan dieliminir. "Tumbuh" karena dialog mengantarkan pada informasi, klarifikasi dari sumber primer dan dapat mendiskusikannya secara terbuka dan tulus. Dialog merupakan pangkal pencerahan nurani dan akal pikiran menuju kematangan cara beragama yang menghargai "kelainan" (the otherness).

Dengan demikian, nilai sawa' adalah menyangkut cara manusia melakukan perjumpaan dengan dan memahami diri sendiri dan dunia lain pada tingkat terdalam, membuka kemungkinan-kemungkinan untuk menggali dan menggapai selaksa makna fundamental kehidupan secara individual dan kolektif dengan berbagai dimensinya.

Secara eksperimental, sawa' tampil ke permukaan dan menjangkau perjumpaan antar dunia multikultural yang begitu luas. Ketika manusia hidup melalui perjumpaan agama-agama, seolah kita mendapatkan pengalaman antarkultural (intercultural experiences). Seperti kita berjuang dengan pola-pola sejarah pertentangan berbagai pandangan dunia. Seperti kita melibatkan secara kreatif kekuatan-kekuatan besar dalam kehidupan sipil di mana pertempuran ideologi dan kehidupan terjadi. Pengalaman multikultural ini membuat kita mampu bangkit dan sadar dengan perspektif baru yang lebih memadai.

Pluralitas dan multikulturalitas untuk dialog, bukan pertentangan, adalah teknologi masa depan yang muncul dari pandangan rasional otentik berbasis wahyu progresif yang merupakan dasar bagi semua pengalaman keagamaan dan kultural. Dialog membawa pada pandangan dunia keagamaan dan kultural yang tidak parsial atau ideologi sipil yang tidak diskriminatif.

Sekali lagi, dialog adalah jiwa universal yang melampaui pertempuran agama-agama, konfrontasi pandangan ilmiah dengan kehidupan agama dan spiritual, alienasi dunia etnik yang destruktif, fragmentasi dan disintegrasi kehidupan batin individu, frustrasi kebudayaan-kebudayaan sekuler. Ini dalam upaya membuka ruang dan waktu publik di mana pluralitas pandangan dunia, perspektif, dan ideologi dapat maju bersama-sama dengan spirit perdamaian, rekonsiliasi, pengampunan, nirkekerasan dan berkeadaban.

Penemuan sangat nyata atas pengalaman multikultural yang demikian intensif merupakan suatu keharusan dan kebutuhan yang tak terelakkan. Penemuan ini adalah dasar dan sumber utama diluar perbedaan dan keragaman (diversity) pandangan dunia dan perspektif. Dengan memperoleh akses pada sumber bagi seluruh kehidupan kultural dan mengalaminya, menjadi sangat jelas bahwa umat manusia sedang berada di tengah-tengah transformasi diri yang mendalam dan kematangan kemanusiaan.

Satu pelajaran berharga dari evolusi kebudayaan adalah bahwa realitas multikultural secara langsung dipengaruhi oleh pola pikir manusia sendiri. Bangsa besar yang kedodoran ini telah terkunci dalam pola pikir egosentris. Pola pikir monolog yang membuat kita menderita dan mengalami kegagalan terbesar dalam mengelola pluralitas dan multikulturalitas. Kita merasakan betapa pedihnya kekerasan dan kehancuran relasi antara sesama atas nama etnik, budaya, politik, ideologi dan bahkan agama.

Dalam konteks ini, spirit sawa' memperoleh momentumnya kembali untuk lahir dengan wajah baru. Tentu saja, melalui pembacaan ulang dan memperdengarkan kembali secara produktif untuk menghadirkan kedalaman makna yang menggairahkan dan mencerahkan kehidupan bersama. Spirit sawa' perlu ditumbuhkan kembali sebagai wahana transformasi diri dan transformasi sosial serta membangkitkan pola pikir dan pola hidup dialogis agar lebih dapat meraih kesejahteraan dan kedamaian dalam kehidupan personal dan komunal. Seluruh kemajuan agama, spiritual, rasional, moral, dan politik dalam evolusi kebudayaan harus dikonstruk dalam kematangan dialog dan perjumpaan multikultural secara kreatIf

NIHILISME RAKYAT ATAS UPAYA PEMERINTAH BERHASIL MENAIKKAN BBM SEBANYAK 3 KALI HINGGA MENCAPAI 150%

Spanduk besar terpasang di Jalan Diponegoro, Jakarta. Pesannya memiriskan hati. Pada spanduk karya Srikandi Demokrasi Indonesia (SDI) itu tertulis: Daftar orang susah, 5,4 juta balita kurang gizi, 8 juta anak telantar, 23 juta pengangguran, 110 juta rakyat miskin, 1 juta lebih Pelacur, 300 ribu pelajar drop out, 180 ribu mahasiswa, drop out, orang sakit 2,7 juta dst

Tidak penting dari mana data diperoleh. Tetapi, yang jelas pesan spanduk itu berhasil menggambarkan realitas kita kini bahwa memang semakin banyak orang susah di negeri ini. Naiknya harga bensin, minyak tanah, beras dan kebutuhan pokok lainnya telah melebihi jangkauan daya beli masyarakat. Banyak yang merasakan ketidakberdayaan.

Apa yang bisa dilakukan hanyalah memohon belas kasihan sesama. Jalan-jalan pun dijejali pengemis, dari bayi sampai uzur. Makin banyak rakyat yang terpaksa makan nasi aking atau tiwul demi mempertahankan hidup. Sebagian lagi mati sia-sia setelah didera busung lapar. Masyarakat yang susah mulai merasakan apa yang Cornel West sebut sebagai nihilisme (Race Matters H. 14).

Nihilisme bukanlah doktrin filsafat yang beranggapan tidak adanya dasar rasional yang mengabsahkan kekuasaan. West memiliki definisi sendiri terhadap nihilisme. Menurut West, nihilisme adalah pengalaman manusia yang hidup tanpa arti, tanpa harapan, dan tanpa cinta.

Nihilisme sering berujung pada keputusasaan. Rasa putus asa melahirkan ragam reaksi. Sebagian masyarakat yang putus asa menderita stres kronis dan terpaksa menjalani hidup mereka di balik jeruji rumah sakit gila. Sebagian lagi merasa terang sudah berganti menjadi kegelapan, jalan pun buntu, lalu memutuskan bunuh diri.

Bagi mereka, bunuh diri adalah satu-satunya alternatif karena kematian masih lebih baik daripada hidup susah tanpa makna dan tanpa cinta. Orang-orang yang bunuh diri adalah orang yang merasa diri sudah dilupakan dan diabaikan oleh sesama, oleh pemerintah, oleh wakil rakyat, dan bahkan oleh Tuhan.

Jumlah orang yang putus asa dan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri meningkat dari tahun ke tahun. Sedihnya, bukan saja orang dewasa yang mengambil alternatif bunuh diri, anak-anak pun ikut-ikutan putus asa dan bunuh diri.

Di Bandung ada dua kasus bunuh diri yang dilakukan anak-anak, yang putus asa karena terpaksa berhenti sekolah akibat ketiadaan dana.

Ekspresi Kemarahan

Nihilisme yang melahirkan keputusasaan bisa meledakkan kemarahan dan kebencian. Intelektual Islam dari UCLA, Khaled Abou El Fadl, membangun teori menarik. Fadl mengatakan ada dua cara orang mengekspresikan kemarahan dan kebenciannya. Cara pertama adalah mereka yang mengekspresikan kemarahan dengan motif dan tujuan yang jelas. Ekspresi kemarahan yang paling santun dilakukan melalui aksi protes. Protes keras masyarakat Serpong yang marah dengan cara menutup jalan tol di Serpong bertujuan menuntut ganti rugi atas tanah yang diambil untuk pelebaran jalan tol.

Aksi protes karyawan PT Dirgantara Indonesia yang telah dilakukan bertahun-tahun didasari motif dan tujuan yang jelas, yaitu menuntut pemulihan hak kepegawaiannya atau ganti rugi yang memadai. Sayangnya, aksi protes itu terkesan diabaikan. Mereka dianggap tidak ada! Terakhir demonstrasi penduduk Porong, Sidoarjo yang rumah dan tanahnya terendam lumpur bertujuan menuntut ganti rugi.

Dalam ketiga kasus di atas pemerintah terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Aksi protes masyarakat adalah ekspresi kemarahan karena tersumbatnya ruang dialog. Mengabaikan protes hanya memunculkan keputusasaan yang memicu aksi bunuh diri atau bahkan kekerasan yang membahayakan semua orang. Membungkam protes melalui pendekatan keamanan yang militeristik pun bukanlah cara terbaik menyelesaikan persoalan. Kedua pendekatan di atas hanya menggumpalkan keputusasaan masyarakat.

Orang putus asa bisa melakukan cara apa pun, termasuk kekerasan, dengan tujuan mempertahankan haknya. Orang yang putus asa tidak peduli terhadap hidupnya. Mereka bersedia menanggung risiko seberat apa pun yang penting motif dan tujuannya tercapai. Contoh jelas adalah pejuang Palestina yang melakukan aksi bom bunuh diri terhadap pasukan pendudukan Israel.

Motif mereka, menurut Abou El Fadl, adalah pembebasan tanah airnya dari pendudukan Israel. Jadi, dalam setiap aksi ada tujuan yang hendak dicapai. Ada klaim yang dikejar! Itulah sebabnya penyelesaian terbaik dalam berbagai persoalan adalah dengan kesediaan menyelesaikan berbagai persoalan melalui dialog yang santun. Dialog dimulai dengan kesediaan mendengar keluh kesah dan penderitaan sesama dan dari situ berupaya mencari solusi yang terbaik bagi semua.

Kebencian

Cara kedua orang putus asa mengekspresikan kemarahan dan kebenciannya adalah, celakanya, sering tidak didasari dengan motivasi dan tujuan yang jelas. Abou El Fadl memberikan contoh bagus. Penyerangan terhadap gedung pencakar langit WTC di New York pada peristiwa 11 September 2001 dilakukan dengan motivasi dan tujuan yang sama sekali tidak jelas. Pelaku penyerangan itu sendiri tewas dalam aksinya.

Penyerangan itu sendiri adalah muntahan kemarahan dan kebencian terhadap simbol kebesaran Amerika Serikat. Tidak ada klaim apa pun. Tidak ada tuntutan kemerdekaan terhadap sejengkal tanah atau tuntutan pembebasan terhadap siapa pun! Seolah yang hendak dicapai cuma pemberotakan terhadap nihilisme, suatu penegasan bahwa "kami eksis!"

Peristiwa WTC memiliki kesamaan dengan kasus Amrozi di Bali. Amrozi dan kawan-kawan memuntahkan kemarahan dan kebencian yang telah bergejolak dalam hati. Kemarahan demi kemarahan itu sendiri! Karena itu, mengabaikan berbagai penderitaan dan kesusahan masyarakat berpotensi menebarkan virus nihilisme yang melahirkan kemarahan dan bahkan kekerasan yang membahayakan seluruh bangsa.

Kita perlu membangun peradaban baru guna menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, yaitu melalui membuka ruang dialog seluas-luasnya, memfasilitasi percakapan bahkan perdebatan rasional, dan melalui hukum yang harus ditegakkan. Pemerintah harus berani memulainya. Semoga!

Senin, 02 Juni 2008

KOSMETIKA POLITIK SBY JK

SBY-JK Bukan Pemerintahan Populis

Kalau kita menyaksikan jumlah suara sekitar 60 persen yang mendukung Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla (SBY-JK), sebagian kalangan berpendapat bahwa pemerintahan baru ini bisa dikatakan sebagai pemerintahan populis. Apalagi, kedua pasangan ini benar-benar memanfaatkan popularitas mereka, yang sebagian besar dikreasi oleh media. Politik citra, demikian tulis pengamat politik Saiful Muzani dari Freedom Institute, telah berhasil mengalahkan politik berdasarkan aliran dan kelas.

Mungkin bertolak dari kondisi ini, ketika Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla, dipastkan terpilih sebagai presiden periode 2004-2009, Ulil Abshar Abdalla, direktur Freedom Institute, mengatakan, pemerintahan SBY-JK harus berani menempuh kebijakan yang tidak popular, demi pemulihan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang. Bukankah popularitas bisa diciptakan (to create), sehingga jangan khawatir jika popularitasnya merosot.

Bagi Mohamad Chatib Basri, ekonom dari Universitas Indonesia, salah satu kebijakan tidak popular itu adalah meninjau kembali Undang-Undang Perburuhan Nomor 13 Tahun 2003, yang dianggap tidak menguntungkan bagi investor. Basri sepertinya hanya menyambung protes yang dilontarkan oleh Mohamad S. Hidayat, ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN). Hidayat mengatakan, di tengah-tengah keharusan untuk menciptakan iklim investasi, UU perburuhan tersebut merupakan batu penghalang utama terwujudnya iklim investasi yang kondusif. Para investor mengaku tidak bisa bernegosiasi dan memahami aturan perburuhan di Indonesia. "Mereka tidak bisa memahami UU perburuhan kita di mana buruh yang bersalah dan diberhentikan harus juga menerima pesangon," ujar Hidayat (Kompas, 19/10/2004).

Tetapi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kebijakan yang tidak popular itu? Apakah maksudnya adalah kebijakan yang anti-rakyat tapi pada akhirnya demi kepentingan rakyat juga? Bukankah ini sesuatu yang paradoks? Sangat sering kita mendengar bahwa rakyat mesti bersabar untuk sementara waktu demi masa depan yang lebih baik. Dalam bahasa ekonomi-politk, kebijakan yang tidak popular itu memang akan mendatangkan rasa sakit dalam jangka pendek tetapi, berakibat manis dalam jangka panjang.

Saya menduga, kebijakan yang tidak popular itu ditujukan sebagai kontra-wacana dari kebijakan populis. Kalau itu yang dimaksud, maka untuk memahami makna substantif dari frasa ìkebijakan yang tidak popular,î ada baiknya kita lihat apa yang dimaksud dengan kebijakan populis.

Kebijakan populis tentu saja dilahirkan oleh sebuah rejim populis. Karena itu penting untuk mengetahui bagaimana rejim populis bisa bertahta di singgasana kekuasaan dan kebijakan macam apa yang mereka jalankan. Ketika menjelaskan kemenangan Hugo Chavez dalam pemilu 1998 di Venezuela, MoisÈs Naim (2002), mantan menteri Industri dan Perdagangan Venezuela dan direktur Foreign Policy Magazine, menulis ìPolitik Venezueala tidak dapat dimengerti kecuali menghadapkan dua fakta yang saling bertentangan: negara yang pertumbuhan ekonominya lebih baik dibandingkan dengan negara manapun di dunia pada tahun 1920 dan 1980, dan tak ada negara lain, di luar Afrika, yang mengalami kebangkrutan ekonomi dalam 20 tahun terakhir. Sebagai tambahan, masalah lain yang perlu dipertimbangkan adalah kemakmuran yang disebabkan oleh minyak, yang dimiliki oleh negara, membuat jumlah penduduk yang berpikir bahwa kekayaan mereka akan semakin bertambah, padahal kenyataannya mereka semakin miskin. Kontradiksi ini menyebabkan timbulnya frustasi, kebencian, dan sebagai jalan keluarnya adalah mencari obat pemunahnya dalam waktu singkat (panacea).î Panacea itu adalah Hugo Chavez, mantan letnan kolonel angkatan darat Venezuela.

Dari paparan Naim, ada tiga situasi yang menyebabkan munculnya rejim populis: pertama, terjadi situasi krisis ekonomi yang menjurus pada depresi; kedua, tingkat kesenjangan sosial dan ekonomi yang tinggi; dan ketiga, kedua hal tersebut memicu terjadinya konflik sosial politik dalam masyarakat. Dalam konteks ekonomi-politik seperti itu, menurut Yasmine Coupal (2003), dalam artikelnya yang berjudul ìMacroeconomic Populism in Venezuela,î sebuah rejim dikategorikan sebagai rejim populis jika memenuhi ciri-ciri berikut: pertama, seorang pemimpin populis adalah orang yang selalu ingin menunjukkan kharismanya, dalam hal ini, kemampuan dan kualitas personalnya yang unik di depan pengikutnya, yang meneguhkan dirinya untuk mempertahankan kebutuhan-kebutuhan mayoritas rakyat dan untuk mendukung kebanggaan nasional; kedua, rejim populis selalu berjanji untuk mereformasi masyarakat mereka dan meningkatkan kualitas hidup massa; ketiga, rejim populis meminta kepada kaum miskin, kelas pekerja, dan laki-laki serta perempuan pada umumnya untuk memberikan suara dan legitimasinya; dan keempat, guna memperoleh dukungan tersebut, rejim populis selalu menggunakan elemen-elemen bahasa atau cerita-cerita rakyat setempat untuk menunjukkan kedekatannya kepada massa. Dalam kasus Amerika Latin, model pemimpin populis ini tampak pada figure Juan Domingo Peron di Argentina atau Jorge Gaitan dan Leonel Brizola di Brazil.

Di bidang ekonomi, seorang pemimpin populis cenderung menyusun kebijakan ekonominya untuk mendorong tercapainya tujuan-tujuan politiknya. Coupal mencatat beberapa ciri kebijakan rejim populis: pertama, mengorganisasikan dukungan dari kelompok-kelompok kelas menengah bawah dan organisasi buruh. Karena posisinya yang paling menderita dalam struktur pendapatan ekonomi yang timpang, maka bagi seorang pemimpin populis kelompok ini mewakili pendukung rejim yang utama; kedua, menerima dukungan yang saling melengkapi dari bisnis berorientasi domestik. Sektor ini memainkan peran penting dalam mengaktifkan kembali ekonomi nasional, melalui promosi pertumbuhan, lebih jauh lagi menyumbang bagi tujuan-tujuan redistribusi; ketiga, secara politik mengisolasi oligarki pedesaan, perusahaan asing, dan elite industri domestik skala besar. Kelompok-kelompok ini dianggap sebagai musuh, karena sebelumnya merekalah yang mendominasi politik nasional. Selain itu, kepentingan kelompok-kelompok ini adalah memusuhi tujuan-tujuan redistribusi yang dicanangkan oleh rejim populis.

Yang menjadi pertanyaan adalah, kebijakan ekonomi macam apa yang ditempuh oleh rejim populis untuk mencapai tujuannya yakni, redistribusi sumberdaya-sumberdaya yang langka? Kembali mengutip Coupal, untuk mencapai tujuan tersebut kebijakan ekonomi yang ditempuh rejim populis adalah:pertama, defisit anggaran untuk merangsang permintaan domestik (Budget deficit to stimulate domestic demand); kedua, meningkatkan upah nominal plus kontrol harga untuk mempengaruhi redistribusi pendapatan. Di sini, peningkatan upah didesain untuk menghasilakn dampak-dampak redistributif, sedangkan kontrol harga diterapkan guna menjaga agar inflasi tetap bisa dikontrol; ketiga, kontrol terhadap nilai tukar atau apresiasi untuk memotong inflasi dan meningkatkan upah dan keuntungan dalam sektor-sektor barang non-perdagangan.

Dalam situasi dimana tingkat kesenjangan ekonomi sangat tinggi, rejim populis mengajukan tiga elemen sebagai resep: (1) reaktivasi ekonomi; (2) redistribusi pendapatan; dan (3) restrukturisasi ekonomi. Untuk tahap pertama, pemimpin populis dihadapkan pada situasi dimana performa ekonomi nasional sangat buruk yang ditandai dengan pertumbuhan yang moderat (moderate growth), stagnasi (stagnation); atau bahkan depresi (depression). Bagi seorang pemimpin populis, sekali ekonomi digerakkan kembali, adalah mungkin baginya untuk mendorong tercapainya dua tujuan yang lain yakni, redistribusi pendapatan dan restrukturisasi ekonomi. Pada tahap ini, redistribusi pendapatan dilakukan melalui peningkatan upah nyata secara besar-besaran, sembari menghindari terjadinyan peningkatan harga. Bahkan jika terjadi tekanan inflasi yang semakin berkembang, para pengambil kebijakan populis ini menolak untuk memberlakukan kebijakan devaluasi. Mereka berpendapat devaluasi akan menyebabkan tererosinya standar hidup, dan pada akhirnya, menciptakan tekanan inflasi berkelanjutan tanpa hasil yang positif bagi eksternal sektor. Dalam pengertian ini, restrukturisasi ekonomi berarti, melindungi pertukaran internasional (foreign exchange), dan sebaliknya mendukung pertumbuhan tinggi dan upah nyata yang tinggi.

Kalau kita meneliti ciri-ciri kebijakan makroekonomi yang ditempuh pemerintahan SBY-JK saat ini, jelas sudah bahwa pemerintahan ini bukan pemerintahan populis. Sebaliknya, pemerintahan SBY-JK nyata-nyata merupakan pemerintahan yang berorientasi pada kebijakan neoliberal, dimana salah satu indikasinya adalah menerapkan kebijakan stabilitas makroekonomi dan promosi ekspor. Dengan kebijakan seperti ini, pertumbuhan ekonomi digerakkan oleh investasi dan prioritas pertama dan terutama dari pemerintah adalah menciptakan iklim investasi yang menguntungkan bagi investor.

Dengan memahami kebijakan populis, kita disadarkan bahwa program turba (turun ke bawah) yang gencar dilakukan oleh pemerintahan baru ini, tak lebih sebagai kosmetik politik belaka. Menarik tapi membahayakan, menjanjikan tapi manipulatif, pro-rakyat tapi sebenarnya anti-rakyat.