Senin, 02 Juni 2008

KOSMETIKA POLITIK SBY JK

SBY-JK Bukan Pemerintahan Populis

Kalau kita menyaksikan jumlah suara sekitar 60 persen yang mendukung Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla (SBY-JK), sebagian kalangan berpendapat bahwa pemerintahan baru ini bisa dikatakan sebagai pemerintahan populis. Apalagi, kedua pasangan ini benar-benar memanfaatkan popularitas mereka, yang sebagian besar dikreasi oleh media. Politik citra, demikian tulis pengamat politik Saiful Muzani dari Freedom Institute, telah berhasil mengalahkan politik berdasarkan aliran dan kelas.

Mungkin bertolak dari kondisi ini, ketika Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla, dipastkan terpilih sebagai presiden periode 2004-2009, Ulil Abshar Abdalla, direktur Freedom Institute, mengatakan, pemerintahan SBY-JK harus berani menempuh kebijakan yang tidak popular, demi pemulihan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang. Bukankah popularitas bisa diciptakan (to create), sehingga jangan khawatir jika popularitasnya merosot.

Bagi Mohamad Chatib Basri, ekonom dari Universitas Indonesia, salah satu kebijakan tidak popular itu adalah meninjau kembali Undang-Undang Perburuhan Nomor 13 Tahun 2003, yang dianggap tidak menguntungkan bagi investor. Basri sepertinya hanya menyambung protes yang dilontarkan oleh Mohamad S. Hidayat, ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN). Hidayat mengatakan, di tengah-tengah keharusan untuk menciptakan iklim investasi, UU perburuhan tersebut merupakan batu penghalang utama terwujudnya iklim investasi yang kondusif. Para investor mengaku tidak bisa bernegosiasi dan memahami aturan perburuhan di Indonesia. "Mereka tidak bisa memahami UU perburuhan kita di mana buruh yang bersalah dan diberhentikan harus juga menerima pesangon," ujar Hidayat (Kompas, 19/10/2004).

Tetapi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kebijakan yang tidak popular itu? Apakah maksudnya adalah kebijakan yang anti-rakyat tapi pada akhirnya demi kepentingan rakyat juga? Bukankah ini sesuatu yang paradoks? Sangat sering kita mendengar bahwa rakyat mesti bersabar untuk sementara waktu demi masa depan yang lebih baik. Dalam bahasa ekonomi-politk, kebijakan yang tidak popular itu memang akan mendatangkan rasa sakit dalam jangka pendek tetapi, berakibat manis dalam jangka panjang.

Saya menduga, kebijakan yang tidak popular itu ditujukan sebagai kontra-wacana dari kebijakan populis. Kalau itu yang dimaksud, maka untuk memahami makna substantif dari frasa ìkebijakan yang tidak popular,î ada baiknya kita lihat apa yang dimaksud dengan kebijakan populis.

Kebijakan populis tentu saja dilahirkan oleh sebuah rejim populis. Karena itu penting untuk mengetahui bagaimana rejim populis bisa bertahta di singgasana kekuasaan dan kebijakan macam apa yang mereka jalankan. Ketika menjelaskan kemenangan Hugo Chavez dalam pemilu 1998 di Venezuela, MoisÈs Naim (2002), mantan menteri Industri dan Perdagangan Venezuela dan direktur Foreign Policy Magazine, menulis ìPolitik Venezueala tidak dapat dimengerti kecuali menghadapkan dua fakta yang saling bertentangan: negara yang pertumbuhan ekonominya lebih baik dibandingkan dengan negara manapun di dunia pada tahun 1920 dan 1980, dan tak ada negara lain, di luar Afrika, yang mengalami kebangkrutan ekonomi dalam 20 tahun terakhir. Sebagai tambahan, masalah lain yang perlu dipertimbangkan adalah kemakmuran yang disebabkan oleh minyak, yang dimiliki oleh negara, membuat jumlah penduduk yang berpikir bahwa kekayaan mereka akan semakin bertambah, padahal kenyataannya mereka semakin miskin. Kontradiksi ini menyebabkan timbulnya frustasi, kebencian, dan sebagai jalan keluarnya adalah mencari obat pemunahnya dalam waktu singkat (panacea).î Panacea itu adalah Hugo Chavez, mantan letnan kolonel angkatan darat Venezuela.

Dari paparan Naim, ada tiga situasi yang menyebabkan munculnya rejim populis: pertama, terjadi situasi krisis ekonomi yang menjurus pada depresi; kedua, tingkat kesenjangan sosial dan ekonomi yang tinggi; dan ketiga, kedua hal tersebut memicu terjadinya konflik sosial politik dalam masyarakat. Dalam konteks ekonomi-politik seperti itu, menurut Yasmine Coupal (2003), dalam artikelnya yang berjudul ìMacroeconomic Populism in Venezuela,î sebuah rejim dikategorikan sebagai rejim populis jika memenuhi ciri-ciri berikut: pertama, seorang pemimpin populis adalah orang yang selalu ingin menunjukkan kharismanya, dalam hal ini, kemampuan dan kualitas personalnya yang unik di depan pengikutnya, yang meneguhkan dirinya untuk mempertahankan kebutuhan-kebutuhan mayoritas rakyat dan untuk mendukung kebanggaan nasional; kedua, rejim populis selalu berjanji untuk mereformasi masyarakat mereka dan meningkatkan kualitas hidup massa; ketiga, rejim populis meminta kepada kaum miskin, kelas pekerja, dan laki-laki serta perempuan pada umumnya untuk memberikan suara dan legitimasinya; dan keempat, guna memperoleh dukungan tersebut, rejim populis selalu menggunakan elemen-elemen bahasa atau cerita-cerita rakyat setempat untuk menunjukkan kedekatannya kepada massa. Dalam kasus Amerika Latin, model pemimpin populis ini tampak pada figure Juan Domingo Peron di Argentina atau Jorge Gaitan dan Leonel Brizola di Brazil.

Di bidang ekonomi, seorang pemimpin populis cenderung menyusun kebijakan ekonominya untuk mendorong tercapainya tujuan-tujuan politiknya. Coupal mencatat beberapa ciri kebijakan rejim populis: pertama, mengorganisasikan dukungan dari kelompok-kelompok kelas menengah bawah dan organisasi buruh. Karena posisinya yang paling menderita dalam struktur pendapatan ekonomi yang timpang, maka bagi seorang pemimpin populis kelompok ini mewakili pendukung rejim yang utama; kedua, menerima dukungan yang saling melengkapi dari bisnis berorientasi domestik. Sektor ini memainkan peran penting dalam mengaktifkan kembali ekonomi nasional, melalui promosi pertumbuhan, lebih jauh lagi menyumbang bagi tujuan-tujuan redistribusi; ketiga, secara politik mengisolasi oligarki pedesaan, perusahaan asing, dan elite industri domestik skala besar. Kelompok-kelompok ini dianggap sebagai musuh, karena sebelumnya merekalah yang mendominasi politik nasional. Selain itu, kepentingan kelompok-kelompok ini adalah memusuhi tujuan-tujuan redistribusi yang dicanangkan oleh rejim populis.

Yang menjadi pertanyaan adalah, kebijakan ekonomi macam apa yang ditempuh oleh rejim populis untuk mencapai tujuannya yakni, redistribusi sumberdaya-sumberdaya yang langka? Kembali mengutip Coupal, untuk mencapai tujuan tersebut kebijakan ekonomi yang ditempuh rejim populis adalah:pertama, defisit anggaran untuk merangsang permintaan domestik (Budget deficit to stimulate domestic demand); kedua, meningkatkan upah nominal plus kontrol harga untuk mempengaruhi redistribusi pendapatan. Di sini, peningkatan upah didesain untuk menghasilakn dampak-dampak redistributif, sedangkan kontrol harga diterapkan guna menjaga agar inflasi tetap bisa dikontrol; ketiga, kontrol terhadap nilai tukar atau apresiasi untuk memotong inflasi dan meningkatkan upah dan keuntungan dalam sektor-sektor barang non-perdagangan.

Dalam situasi dimana tingkat kesenjangan ekonomi sangat tinggi, rejim populis mengajukan tiga elemen sebagai resep: (1) reaktivasi ekonomi; (2) redistribusi pendapatan; dan (3) restrukturisasi ekonomi. Untuk tahap pertama, pemimpin populis dihadapkan pada situasi dimana performa ekonomi nasional sangat buruk yang ditandai dengan pertumbuhan yang moderat (moderate growth), stagnasi (stagnation); atau bahkan depresi (depression). Bagi seorang pemimpin populis, sekali ekonomi digerakkan kembali, adalah mungkin baginya untuk mendorong tercapainya dua tujuan yang lain yakni, redistribusi pendapatan dan restrukturisasi ekonomi. Pada tahap ini, redistribusi pendapatan dilakukan melalui peningkatan upah nyata secara besar-besaran, sembari menghindari terjadinyan peningkatan harga. Bahkan jika terjadi tekanan inflasi yang semakin berkembang, para pengambil kebijakan populis ini menolak untuk memberlakukan kebijakan devaluasi. Mereka berpendapat devaluasi akan menyebabkan tererosinya standar hidup, dan pada akhirnya, menciptakan tekanan inflasi berkelanjutan tanpa hasil yang positif bagi eksternal sektor. Dalam pengertian ini, restrukturisasi ekonomi berarti, melindungi pertukaran internasional (foreign exchange), dan sebaliknya mendukung pertumbuhan tinggi dan upah nyata yang tinggi.

Kalau kita meneliti ciri-ciri kebijakan makroekonomi yang ditempuh pemerintahan SBY-JK saat ini, jelas sudah bahwa pemerintahan ini bukan pemerintahan populis. Sebaliknya, pemerintahan SBY-JK nyata-nyata merupakan pemerintahan yang berorientasi pada kebijakan neoliberal, dimana salah satu indikasinya adalah menerapkan kebijakan stabilitas makroekonomi dan promosi ekspor. Dengan kebijakan seperti ini, pertumbuhan ekonomi digerakkan oleh investasi dan prioritas pertama dan terutama dari pemerintah adalah menciptakan iklim investasi yang menguntungkan bagi investor.

Dengan memahami kebijakan populis, kita disadarkan bahwa program turba (turun ke bawah) yang gencar dilakukan oleh pemerintahan baru ini, tak lebih sebagai kosmetik politik belaka. Menarik tapi membahayakan, menjanjikan tapi manipulatif, pro-rakyat tapi sebenarnya anti-rakyat.

Tidak ada komentar: